Jelajah Museum di Laut Jakarta


Desau angin, deburan ombak dan hangatnya mentari membawa anganku ke satu abad yang lalu. Saat negeri ini masih belum penuh dengan intrik dan tipu daya. Negeri yang dikenal dengan gemah ripah loh jinawi, dimana tongkat pun bisa tumbuh menjadi pepohonan rimbun tanpa tujuan komoditi.

Batavia 1900M. Pulau Jawa masih dalam pendudukan Belanda. Nusantara ini masih terbagi atas ragam kerajaan dari gugus kepulauan besar di Hindia Belanda. Jantung perekonomian VOC ada di Teluk Jakarta. Dan kemegahan kota ini masih tersisa dari bangunan megah yang hingga kini masih dilestarikan sebagai cagar budaya.


Jakarta mungkin satu-satunya propinsi yang mempunyai tiga pulau sekaligus yang dijadikan sebagai museum cagar budaya, yaitu pulau Kelor, pulau Onrust dan pulau Cipir yang berada di kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Ada banyak cerita mengenai ketiga pulau tersebut. Perjalananku kali ini bersama dengan rombongan dari d’Sun Tour and Travel yang ingin mengenal sejarah Jakarta di masa lalu. Berangkat dari Pelabuhan Kamal Muara, kami menggunakan kapal nelayan menuju ke pulau Kelor yang menjadi destinasi pertama. 





Perjalanan dari daratan Jakarta ke pulau Kelor membutuhkan 30 menit. Di sepanjang perjalanan kami melalui banyak keramba untuk membudidayakan ikan yang dibuat oleh nelayan setempat.


Di pulau Kelor terdapat Benteng Martello. Konon benteng ini merupakan pertahanan terakhir terhadap serangan Portugis ke Batavia. Di tengah benteng ini dulu terdapat kanon (meriam) yang bisa berputar sesuai bentuk bentengnya.


Setelah puas berfoto di pulau Kelor, perjalanan dilanjutkan ke pulau Onrust. Pulau ini mempunyai banyak fungsi sesuai dengan perubahan zaman. Mulai dari jaman VOC, masa pendudukan Belanda, hingga saat dijadikan pulau khusus tahanan di jaman penjajahan Jepang. 



Onrust sendiri diambil dari bahasa Belanda yang artinya “unrest” atau tidak beristirahat, karena ramainya pulau ini sebagai tempat transit kapal yang akan berdagang dengan VOC. Selain itu di pulau Onrust ini dikenal sebagai galangan kapal, dimana kapal-kapal melakukan perbaikan sebelum berangkat untuk berniaga.


Di masa penjajahan Belanda, saat agama Islam mulai menyebar luas terutama di pulau Jawa. Pulau Onrust ini dijadikan tempat untuk karantina bagi para calon jamaah haji sebelum mereka diberangkatkan dengan kapal laut ke Mekkah. Masih banyak bekas-bekas bangunan barak karantina haji yang terlihat di pulau Onrust ini.




Selain barak karantina, terdapat juga makam di pulau ini. Ada dua kompleks pemakaman. Satu khusus pemakaman Belanda, dan satu lagi pemakaman pribumi. Walaupun berada di satu pulau, namun lokasinya dipisahkan agak jauh. 




Banyak cerita folklore  yang mengisahkan kejadian-kejadian di pulau ini, salah satunya adalah legenda Maria Bergaun Merah. Dan ada satu makam yang dikeramatkan, yaitu makam pemimpin DI/TII Kartosuwiryo yang ditembak mati karena dianggap pemberontak oleh pemerintah Indonesia di masa kepemimpinan presiden pertama. Hingga kini masih banyak yang berziarah ke makam ini.



Walaupun ketiga pulau di Kepulauan Seribu ini merupakan cagar budaya, namun hanya pulau Onrust lah yang menjadikan seluruh pulau sebagai museum. Di bagian depan museum terdapat meriam dan banyak peninggalan jaman penjajahan, baik masa penjajahan Belanda maupun Jepang.



Salah satu yang terkenal adalah ruang gulat yang dibuat seperti arena gladiator untuk melakukan adu kekuatan antar tahanan perang oleh tentara Jepang.


Kami beristirahat sejenak untuk makan siang sambil meneguk segarnya air kelapa muda langsung dari buahnya. Hmmm... ini baru menikmati suasana pulau tropis, sambil bersantai di bale-bale yang disediakan oleh penduduk setempat. Dan harus banget loh foto di kincir angin kecil yang jadi ikon pulau ini.


Setelah perut kenyang dan menunaikan ibadah sholat zuhur perjalanan dilanjutkan menuju pulau terakhir, pulau Cipir. Di pulau inilah terdapat rumah sakit haji, untuk merawat para jamaah yang sakit sepulangnya dari tanah suci, atau yang sakit sebelum sempat menunaikan ibadah haji.







Dahulu ada jembatan yang menghubungkan pulau Kelor sebagai tempat barak karantina dengan pulau Cipir sebagai rumah sakitnya. Namun akibat erosi selama ratusan tahun menjadikan jembatan tersebut hanya tersisa reruntuhannya saja.



Nah, di pulau Cipir ini, yang menarik adalah ikon tugu selamat datang yang berada di pintu masuk pulau. No comment, just use your own imagination and don't tell me anything please...


Di pulau terakhir ini kita bisa berenang dan bermain pasir di pantai yang landai. Di ujung dekat reruntuhan jembatan pun sekarang telah dibangun semacam dermaga untuk mereka yang punya hobby memancing.



Pulau ini juga mempunyai gardu pandang yang dari atas bisa melihat pulau secara keseluruhan.


Well, it's nice to know such a history. Walau sebenarnya ini cerita nggak enak tentang nenek moyang kita yang dijajah dan dijadikan korban. Sebaiknya porsi penjajah di pulau ini jangan terlalu dibuat jadi lebih istimewa daripada kisah pribuminya dong..dikemas lebih apik dari sisi nasionalisme pasti akan membuat anak negeri jadi lebih bangga dengan asal-usulnya. Bukan sekedar memfoto kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan.




Anyway.... It's a nice trip. Tour guide nya cukup informatif dan para crew yang bertugas pun sangat ringan tangan dalam membantu. And thanks a lot Meiza for the pictures and join me on this trip. Keep traveling with me guys.. See you next trip. 


Meditasi di Pura Gunung Salak




Hening, sejuk dan cuaca yang cerah menjadi awal yang indah untuk memulai pagi.

Kali ini kami berpetualang ke desa Ciapus, tepat di kaki Gunung Salak Bogor. Mencari suasana sejuk yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, di kesempatan ini aku ditemani Karina berangkat naik commuterline dari stasiun Cawang menuju Bogor.


Perjalanan lancar dan sampai di stasiun Bogor mendadak perut terasa lapar, mungkin karena aura jajanan sekitar stasiun yang menggoda. Akhirnya kita memutuskan untuk makan toge goreng  di tengah pilihan sotomie, ketoprak, siomay, nyemmm enak semua.


Setelah perut cukup terisi, perjalanan dimulai. Memilih angkot yang kearah kebun raya, turun di BTC (Bogor Trade Centre), dari situ lanjut lagi dengan angkot yang kearah Ciapus. Sempat mampir dulu ke BTC untuk persiapan perjalanan panjang berikutnya. Jarak dari BTC ke Ciapus ditempuh sekitar satu jam perjalanan santai tanpa macet.



Dari Ciapus kami diantar ke pura dengan ojek pangkalan (ga ada ojek online tampaknya di kaki gunung ini) melalui keindahan hamparan sawah dan siluet gunung yang gagah hingga akhirnya sampai tepat di pintu masuk Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Tamansari Gunung Salak.



Pura Agung ini dibangun tahun 1995 sebagai tempat persembahyangan umat Hindu yang cukup banyak populasinya di sekitar Gunung Salak, mengingat dilokasi ini dianggap sebagai tempat Pakuan Pajajaran Sunda dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi, raja hindu terakhir di Jawa Barat. Bahkan menurut mitos setempat, di lokasi pura ini Prabu Siliwangi moksa (menghilang) dan berubah wujud menjadi macan, sehingga di salah satu sudut paling dalam pura terdapat patung macan putih dan hitam yang menandakan petilasan Prabu Siliwangi.



Setelah dibangun di lahan seluas 3 hektar ini, Pura Agung Jagatkarta menjadi pura terbesar di Jawa Barat dan pura kedua terbesar di Indonesia setelah pura Besakih di Bali. Terdiri atas beberapa bangunan, yaitu Pura Padmesana, Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama.


Saat kami sampai disana, Pura Agung ini masih dalam tahap renovasi hingga akhir tahun 2016, sehingga ditutup untuk kalangan umum yang hanya ingin berkunjung atau berfoto di area depan. Namun bagi pengunjung yang punya tujuan untuk bersembahyang atau bermeditasi diperbolehkan masuk.


Di pintu masuk gapura setelah area parkir kami disambut oleh patung dewa Ganesha atau ditempat ini diberi nama Sanghyang Ganesha, yang merupakan anak dari dewa Shiwa dan dewi Parvati. Ganesha melambangkan kebijaksanaan dan kearifan yang digambarkan oleh sosok manusia bertangan banyak berkepala gajah.



Karena sudah sampai dan memang ingin merasakan suasana tenang dibawah kaki gunung, maka aku pun masuk dengan menggunakan selendang kuning (wajib pakai) ke area meditasi dalam pura. Dan takjubnya diriku melihat keindahan alam di depan mataku… Luar biasa indah..speechless…



 Aku merasa bukan ada di tempat ibadah.. khayalanku terbang ke jaman kejayaan kerajaan Padjajaran di masa lalu. Dimana terdapat candi yang menjadi tanda suatu kerajaan besar, putri-putri raja yang asyik bersolek untuk menari di pendopo istana. 




Hening, desau angin menggesek dedaunan, wangi rumput dan sayup sayup suara gamelan Bali terdengar membawaku pada ketenangan yang lebih dalam. Melatih nafas, menarik rasa damai, menjernihkan jiwa dari segala rasa buruk yang pernah singgah. 


Dari tempatku duduk terlihat satu bangunan tinggi yang dijaga oleh dua patung macan berwarna hitam dan putih, yang merupakan petilasan yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi



Tak terasa matahari pun semakin meninggi, sedangkan masih ada satu destinasi lagi yang akan kami datangi. Kami pamit pada Jero Mangku sebagai pendeta yang menjaga Pura Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak ini. Siapapun akan merindukan tempat yang damai ini dan dalam hati kuberkeinginan untuk kembali kesini lagi.


Sampai ketemu lagi di perjalanan menyusuri indahnya negeri ini, di tempat yang lain, tempat yang pasti indah.. Stay wonderful Indonesia....

Diberdayakan oleh Blogger.

viewers

Recent

Comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *